Sikap Wara’ dalam Beragama

Terakhir diperbarui: 24 September 2025, 07:00 WIB

Semakin kesini, masyarakat Indonesia semakin cerdas. Apa indikatornya alat ukurnya yaitu sudah mulai timbul kesadaran untuk hidup lebih sehat. Ada yang berolahraga rutin jalan kaki, lari, bersepeda dan lain sebagainya. Ada yang mulai memperhatikan konsumsi makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya. Mulai dari gizinya, vitaminnya, proteinnya, kandungan gulanya, ada pengawetnya atau tidak. Termasuk obat-obatan dicek Kembali kandungannya, apa pandangan dari pakar Kesehatan mengenai kandungannya. Berbahaya atau tidak. Ini semua adalah bentuk kehati-hatian dalam menjaga Kesehatan jasmani kita. Dan ini penting. Karena kalau badan kita sehat semakin nikmat kita beribadah dan kuat kita lama-lama ibadah.

            Namun perlu diingat bahwasanya manusia itu terdiri dari 2 unsur, jasmani Rohani, jasad dan Ruh. Jasad Kembali ke tanah. Ruh Kembali mempertanggung jawabkannya di hadapan Allah. Oleh sebab itu kita bukan hanya perlu berhati-hati menjaga kebugaran jasmani kita, melainkan juga perlu hati-hati dalam menjaga rohani kita. Agar senantiasa dekat dengan Allah swt. 

            Sikap hati-hati ini disebut dengan Wara. Kata imam Ghazali: 

            "Kata Imam Zarruq Arus wara’ ada 4". 

1.     Ahwal Al Qolbi. Bukan hanya salat, zikir waktu-waktu tertentu. Tapi seluruh waktu saat kita melek mata kita ingat dalam hati kita Allah. (Kisah Yunus)

2.     Aqwal Al Lisan. Bukan hanya (Qoul Ali bin Abi Thalib)

3.     Harakatul Jawarih. Bukan hanya menahan dari perbuatan haram mencuri tapi juga mengisi waktu itu dengan perbuatan yang sia-sia yang kurang bermakna. (Qoul Salman Al Farisi)

4.     Musta’malatu al Aqwat. Bukan hanya meninggalkan yang haram tapi menjaga yang syubhat. (Qoul Abu Bakar Shidiq)


تفسير روح المعاني: الامام الوسي

وَالنَّفْسُ قِيْلَ بِمَعْنَى الذَّاتِ، وَوُصِفَتْ بِالِاطْمِئْنَانِ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تَرَقَّى بِقُوَّتِهَا الْعَاقِلَةِ فِيْ مَعَارِجِ الْأَسْبَابِ وَالْمُسَبَّبَاتِ إِلَى الْمَبْدَأِ الْمُؤَثِّرِ بِالذَّاتِ -جَلَّتْ صِفَاتُهُ وَأَسْمَاؤُهُ- فَتَضْطَرِبُ وَتَقْلَقُ قَبْلَ الْوُصُوْلِ إِلَى مَعْرِفَتِهِ تَعَالَى، فَإِذَا وَصَلَتْ إِلَيْهِ عَزَّ وَجَلَّ اطْمَأَنَّتْ وَاسْتَغْنَتْ بِهِ سُبْحَانَهُ عَنْ وُجُودِهَا وَسَائِرِ شُؤُونِهَا وَلَمْ تَلْتَفِتْ إِلَى مَا سِوَاهُ جَلَّ وَعَلَا بِالْكُلِّيَّةِ

Kata An-Nafs (Jiwa) di sini bermakna Dzat (diri manusia itu sendiri). Ia disifati dengan ketenangan karena ia menanjak naik (taraqqā) dengan kekuatan akalnya melalui tangga-tangga sebab dan akibat (ma'ārij al-asbāb wal-musabbabāt) menuju Sang Prinsip Pertama yang menjadi Pengaruh Hakiki (yaitu Allah)—Maha Agung sifat dan nama-Nya. (Perlu diketahui bahwa) Jiwa itu akan gelisah dan cemas (tadhtharibu wa taqlaqu) sebelum sampai pada pengenalan (ma'rifah) kepada-Nya. Namun, ketika ia telah sampai kepada-Nya, ia menjadi tenang (ithma'annat) dan merasa cukup dengan-Nya (istaghnat bihi), (sehingga tidak lagi peduli) pada eksistensinya sendiri dan segala urusannya, dan sama sekali tidak lagi menoleh kepada selain-Nya.

وَقِيْلَ: هِيَ النَّفْسُ الْمُؤْمِنَةُ الْمُطْمَئِنَّةُ إِلَى الْحَقِّ، الْوَاصِلَةُ إِلَى ثَلْجِ الْيَقِيْنِ وَبُرُوْدَتِهِ، بِحَيْثُ لَا يُخَالِطُهَا شَكٌّ مَا وَلَا يُمَازِجُهَا سُخُوْنَةُ اضْطِرَابِ الْقَلْبِ فِي الْحَقِّ أَصْلًا، وَهُوَ وَجْهٌ حَسَنٌ. وَالْارْتِبَاطُ عَلَيْهِ أَنَّ هَذِهِ النَّفْسَ هِيَ الْمُتَّعِظَةُ الذَّاكِرَةُ عَلَى خِلَافِ الْإِنْسَانِ الْمَوْصُوْفِ فِيْمَا قَبْلُ، فَإِنَّ التَّذَكُّرَ عَلَى قَدْرِ قُوَّةِ الْيَقِيْنِ، أَلَا تَرَى إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى: "إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ"      الزمر: ٩

Pendapat kedua: Ia adalah jiwa seorang mukmin yang tenang pada kebenaran, yang telah sampai pada "salju keyakinan dan kesejukannya" (tsalj al-yaqīn wa burūdatihi). Artinya, keyakinannya begitu dingin dan menenangkan sehingga tidak lagi tercampuri oleh keraguan apa pun dan tidak lagi terganggu oleh "panasnya gejolak hati" dalam mencari kebenaran. Ini adalah pendapat yang baik. Keterkaitannya (dengan ayat sebelumnya) adalah bahwa jiwa inilah yang dapat mengambil pelajaran dan senantiasa berzikir, berbeda dengan "manusia" yang disifati sebelumnya (yang tidak mau berzikir). Sebab, kemampuan untuk mengambil pelajaran itu sebanding dengan kekuatan keyakinan. Tidakkah engkau lihat firman-Nya: "Hanyalah orang-orang yang berakal sehat yang dapat mengambil pelajaran." (Az-Zumar: 9).

وَقِيْلَ هِيَ الْآمِنَةُ الَّتِيْ لَا يَسْتَفِزُّهَا خَوْفٌ وَلَا حُزْنٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَعْنِي النَّفْسَ الْمُؤْمِنَةَ الْيَوْمَ الْمُتَوَفَّاةَ عَلَى الْإِيْمَانِ. وَأُيِّدَ بِقِرَاءَةِ أُبَيٍّ: "يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْآمِنَةُ الْمُطْمَئِنَّةُ". وَكَأَنَّهُ لِأَنَّ الْوَصْفَيْنِ يُعْتَبَرُ تَنَاسُبُهُمَا فِي الْأَكْثَرِ، وَهِيَ عَلَى هَذَا تُقَابِلُ السَّابِقَ وَهُوَ الْمُتَحَسِّرُ وَالْمُتَحَزِّنُ

Pendapat ketiga: Ia adalah jiwa yang aman (āminah), yang tidak digoyahkan oleh rasa takut maupun sedih pada hari Kiamat. Maksudnya adalah jiwa seorang mukmin di dunia sekarang ini yang wafat di atas keimanan. Pendapat ini didukung oleh bacaan (qira'ah) sahabat Ubay bin Ka'ab: "Wahai jiwa yang aman lagi tenang." Seolah-olah (kedua sifat ini digabung) karena keduanya dianggap sangat serasi. Menurut pandangan ini, jiwa ini menjadi lawan dari manusia sebelumnya yang penuh penyesalan dan kesedihan.

"رَاضِيَةً"، أَيْ بِمَا تُؤْتَيْنَهُ مِنَ النِّعَمِ الَّتِيْ لَا تَتَنَاهَى. وَقَدْ يُقَالُ: رَاضِيَةً بِمَا نِلْتِيْهِ مِنْ خِفَّةِ الْحِسَابِ وَقَبُوْلِ الْأَعْمَالِ، وَلَيْسَ بِذَاكَ. "مَرْضِيَّةً"، أَيْ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قِيْلَ: الْمُرَادُ رَاضِيَةٌ عَنْ رَبِّكِ مَرْضِيَّةٌ عِنْدَهُ، وَزُعِمَ أَنَّهُ الْأَظْهَرُ، وَاعْتُرِضَ بِأَنَّهُ غَيْرُ مُنَاسِبٍ لِلسِّيَاقِ وَفِيْهِ نَظَرٌ. وَالْوَصْفَانِ مَنْصُوْبَانِ عَلَى الْحَالِ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْحَالَ الْأُوْلَى مُقَدَّرَةٌ وَقِيْلَ مُقَارِنَةٌ، وَذِكْرُ الْحَالِ الثَّانِيَةِ مِنْ بَابِ التَّرَقِّيْ فَقَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: "وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ"     التوبة: ٧٢

"Rāḍiyah" (dalam keadaan rida), artinya: ridha dengan nikmat-nikmat tak terhingga yang diberikan kepadamu. Ada juga yang berpendapat: ridha dengan ringannya hisab dan diterimanya amal, namun pendapat ini tidak sekuat itu. "Marḍiyyah" (dalam keadaan diridai), artinya: diridai di sisi Allah azza wa jalla. Ada yang mengatakan maksudnya adalah "rida kepada Tuhanmu dan diridai di sisi-Nya", dan diklaim bahwa ini pendapat yang paling jelas, namun dibantah karena dianggap tidak sesuai dengan konteks, dan pendapat ini perlu ditinjau ulang (wa fīhi nazhar). Kedua sifat ini ber-i'rab manshub sebagai ḥāl (keterangan keadaan). 

Yang jelas, keadaan yang pertama (rāḍiyah) adalah sesuatu yang akan terjadi (muqaddarah), ada pula yang berpendapat terjadi bersamaan (muqāranah). Penyebutan keadaan yang kedua (marḍiyyah) adalah sebagai bentuk peningkatan derajat (taraqqī), karena Allah berfirman: "Dan keridaan dari Allah adalah lebih besar." (At-Taubah: 72).

Riwayat Wafatnya Ibnu Abbas RA

وَقَالَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ رَحِمَهُ اللهُ: مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا بِالطَّائِفِ فَشَهِدْتُ جَنَازَتَهُ، فَجَاءَ طَائِرٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُ عَلَى خِلْقَتِهِ فَدَخَلَ نَعْشَهُ ثُمَّ لَمْ يُرَ خَارِجًا مِنْهُ. فَلَمَّا دُفِنَ تُلِيَتْ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى شَفِيْرِ الْقَبْرِ لَا يُرَى مَنْ تَلَاهَا: "يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ"

Sa'id bin Jubair Rahimahullah berkata: "Ibnu Abbas RA wafat di Thaif dan aku menyaksikan jenazahnya. Tiba-tiba datang seekor burung yang belum pernah terlihat wujud sepertinya, lalu ia masuk ke dalam keranda jenazah Ibnu Abbas dan tidak terlihat keluar lagi. Ketika beliau dimakamkan, terdengarlah bacaan ayat ini di tepi kubur, namun tidak terlihat siapa yang membacanya: "Wahai jiwa yang tenang..."".

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْإِشَارَةِ: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ إِلَى الدُّنْيَا، ارْجِعِيْ إِلَى اللهِ بِتَرْكِهَا وَبِسُلُوْكِ سَبِيْلِ الْآخِرَةِ

Sebagian ahli isyarat (sufi) berkata (memberi makna yang bersifat peringatan): "Wahai jiwa yang tenang dengan dunia, kembalilah kepada Allah dengan meninggalkan dunia dan dengan menempuh jalan akhirat."

وَفِي التَّعْرِيْفَاتِ: النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ هِيَ الَّتِيْ تَنَوَّرَتْ بِنُوْرِ الْقَلْبِ حَتَّى تَخَلَّتْ عَنْ صِفَاتِهَا الذَّمِيْمَةِ وَتَحَلَّتْ بِالْأَخْلَاقِ الْحَمِيْدَةِ. (وَقَالَ الْكَاشِفِيُّ) أَيْ: نَفْسِ آرَامْ كَرْفَتَهْ بِذِكْرِ مَنْ كِهْ شَاكِرْ بُوْدِىْ دَرْ نِعْمَتْ وَصَابِرْ نَمُوْدِىْ دَرْ مِحْنَتْ

Dalam kitab At-Ta'rīfāt disebutkan: An-Nafs al-Muthma'innah adalah jiwa yang telah tercerahkan dengan cahaya kalbu hingga ia melepaskan sifat-sifatnya yang tercela dan berhias dengan akhlak yang terpuji. (Al-Kasyifi berkata), maksudnya (dalam bahasa Persia): "Nafs-e ārām girifteh bi-dzikri man, keh syākir būdī dar ni'mat wa ṣābir namūdī dar miḥnat" (Wahai jiwa yang menjadi tenang dengan mengingat-Ku, yang senantiasa bersyukur dalam nikmat dan bersabar dalam cobaan).

وَالْمَعْنَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ بِالذَّاتِ لِلْمُؤْمِنِ إِكْرَامًا لَهُ كَمَا كَلَّمَ مُوْسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَوْ عَلَى لِسَانِ الْمَلَكِ، وَذَلِكَ عِنْدَ تَمَامِ الْحِسَابِ: يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ﴾ أَيْ إِلَى مَا وَعَدَ لَكِ مِنَ الْكَرَامَةِ وَالزُّلْفَى... ﴿رَاضِيَةً﴾ بِمَا أُوْتِيْتِ مِنَ النَّعِيْمِ الْمُقِيْمِ ﴿مَرْضِيَّةً﴾ عِنْدَ اللهِ ﴿فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ﴾ فِيْ زُمْرَةِ عِبَادِي الصَّالِحِيْنَ الْمُخْتَصِّيْنَ بِيْ ﴿وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ﴾ مَعَهُمْ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: "وَأَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ". فَالدُّخُوْلُ فِيْ زُمْرَةِ الْخَوَاصِّ هِيَ السَّعَادَةُ الرُّوْحَانِيَّةُ، وَالدُّخُوْلُ مَعَهُمْ فِي الْجَنَّاتِ وَدَرَجَاتِهَا هِيَ السَّعَادَةُ الْجِسْمَانِيَّةُ

Makna (yang kuat) adalah bahwa Allah Ta'ala berfirman secara langsung kepada seorang mukmin sebagai pemuliaan baginya, sebagaimana Dia berbicara kepada Musa AS, atau melalui lisan malaikat, dan itu terjadi ketika hisab telah selesai: "Wahai jiwa yang tenang, (kembalilah kepada Tuhanmu), yaitu kepada apa yang telah dijanjikan untukmu berupa kemuliaan dan kedudukan yang dekat... (dalam keadaan rida) dengan kenikmatan abadi yang diberikan kepadamu, (dan diridai) di sisi Allah. (Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku), yaitu ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku yang saleh dan khusus bagi-Ku, (dan masuklah ke dalam surga-Ku) bersama mereka." Ini seperti firman-Nya: "dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (An-Naml: 19). Maka, masuk ke dalam golongan hamba-hamba khusus adalah kebahagiaan rohaniah, dan masuk bersama mereka ke dalam surga dan derajat-derajatnya adalah kebahagiaan jasmaniah.

Riwayat tentang Proses Kematian Orang Beriman

وَقَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: إِذَا تُوُفِّيَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ أَرْسَلَ اللهُ مَلَكَيْنِ وَأَرْسَلَ إِلَيْهِ بِتُحْفَةٍ مِنَ الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهَا: "اخْرُجِيْ أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ، اخْرُجِيْ إِلَى رَوْحٍ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ عَنْكِ رَاضٍ". فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيْحِ مِسْكٍ وَجَدَهُ أَحَدٌ فِيْ أَنْفِهِ. وَالْمَلَكُ عَلَى أَرْجَاءِ السَّمَاءِ يَقُوْلُوْنَ: قَدْ جَاءَ مِنَ الْأَرْضِ رُوْحٌ طَيِّبَةٌ وَنَسَمَةٌ طَيِّبَةٌ. فَلَا تَمُرُّ بِبَابٍ إِلَّا فُتِحَ وَلَا يَمْلِكُ الْأَصْلِي عَلَيْهَا حَتَّى يُؤْتَى بِهَا إِلَى الرَّحْمَنِ -أَيْ إِلَى حُضُوْرِهِ وَمَقَامٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَقَامَاتِ كَرَامَاتِهِ- فَتَسْجُدُ، ثُمَّ يُقَالُ لِمِيْكَائِيْلَ: "اذْهَبْ بِهَذِهِ فَاجْعَلْهَا مَعَ أَنْفُسِ الْمُؤْمِنِيْنَ". ثُمَّ يُؤْمَرُ فَيُوْسَعُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا عَرْضُهُ وَسَبْعُوْنَ ذِرَاعًا طُوْلُهُ وَيُنْبَذُ لَهُ فِيْهِ الرَّيْحَانُ، فَإِنْ كَانَ مَعَهُ شَيْءٌ مِنَ الْقُرْآنِ كَفَاهُ نُوْرُهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ جُعِلَ لَهُ نُوْرٌ مِثْلُ نُوْرِ الشَّمْسِ فِيْ قَبْرِهِ، فَيَكُوْنُ مَثَلُهُ مَثَلَ الْعَرُوْسِ يَنَامُ فَلَا يُوْقِظُهُ إِلَّا أَحَبُّ أَهْلِهِ. 

Abdullah bin Umar RA berkata: "Jika seorang hamba mukmin wafat, Allah mengutus dua malaikat dan mengirimkan untuknya sebuah hadiah (tuḥfah) dari surga. Lalu dikatakan kepada ruhnya: "Keluarlah wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju kelapangan, wewangian, dan Tuhan yang rida kepadamu." Maka ruh itu keluar seperti seharum-harumnya aroma kesturi yang pernah dicium seseorang. Para malaikat di penjuru langit berkata: 'Telah datang dari bumi ruh yang baik dan jiwa yang baik.' Tiada satu pintu langit pun yang ia lewati melainkan dibukakan untuknya... hingga ia dihadapkan kepada Ar-Rahman—yaitu ke hadirat-Nya dan ke sebuah kedudukan khusus di antara kedudukan-kedudukan kemuliaan-Nya—lalu ia bersujud. Kemudian dikatakan kepada malaikat Mikail: 'Pergilah dengan ruh ini dan tempatkan ia bersama jiwa-jiwa kaum mukminin.' Kemudian diperintahkan agar kuburnya diluaskan sejauh 70 hasta lebar dan 70 hasta panjang, dan ditaburkan di dalamnya wewangian. Jika ia memiliki (hafalan) Al-Quran, maka cahayanya sudah cukup meneranginya. Jika tidak, maka dijadikan untuknya cahaya seperti cahaya matahari di kuburnya. Keadaannya seperti pengantin yang tidur, tidak ada yang membangunkannya kecuali orang yang paling ia cintai dari keluarganya.

وَإِذَا تُوُفِّيَ الْكَافِرُ أَرْسَلَ اللهُ إِلَيْهِ مَلَكَيْنِ وَأَرْسَلَ إِلَيْهِ قِطْعَةَ يَجَادٍ أَنْتَنَ مِنْ كُلِّ مُنْتِنٍ وَأَخْشَنَ مِنْ كُلِّ خَشِنٍ، فَيُقَالُ: "أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيْثَةُ، اخْرُجِيْ إِلَى جَهَنَّمَ وَعَذَابٍ أَلِيْمٍ وَرَبٍّ عَلَيْكِ غَضْبَانَ"

"Dan apabila seorang kafir wafat, Allah mengutus dua malaikat kepadanya dan mengirimkan untuknya sepotong kain yijād yang lebih busuk dari segala yang busuk dan lebih kasar dari segala yang kasar. Lalu dikatakan (kepadanya): 'Wahai jiwa yang keji, keluarlah menuju neraka Jahanam, azab yang pedih, dan (menuju) Tuhan yang murka kepadamu.'"

Catatan Penjelas:

Konteks: Kutipan ini adalah bagian penutup dari riwayat Abdullah bin Umar RA yang sebelumnya menggambarkan proses kematian seorang mukmin yang penuh kemuliaan. Bagian ini menyajikan gambaran yang sangat kontras untuk menunjukkan proses kematian seorang kafir yang penuh kehinaan.
يَجَادٍ (Yijād): Kata ini merujuk pada sejenis kain yang sangat kasar dan berkualitas rendah, sering kali dibuat dari bulu kambing atau unta. Dalam konteks ini, ia digunakan sebagai simbol kehinaan dan siksaan awal yang akan dihadapi.

وَرَبٍّ عَلَيْكِ غَضْبَانَ (Wa Rabbin 'alayki ghaḍbāna): Frasa ini sengaja dibuat paralel dengan akhir seruan kepada jiwa mukmin ("...dan Tuhan yang ridha kepadamu"). Ini menunjukkan bahwa tujuan akhir dari perjalanan ruh tersebut adalah Tuhannya, namun dalam keadaan dimurkai, bukan diridai.


ثُمَّ إِنَّهُ تَعَالَى لَمَّا نَفَى كَوْنَ هَذِهِ الذِّكْرَى وَالتَّوْبَةِ نَافِعَةً لَهُ بِقَوْلِهِ: "وَأَنَّىٰ لَهُ الذِّكْرَىٰ"، عَلِمْنَا أَنَّهُ لَا يَجِبُ قَبُوْلُ التَّوْبَةِ كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْمُعْتَزِلَةُ. وَفِي الْإِرْشَادِ: وَالْاسْتِدْلَالُ بِهِ عَلَى عَدَمِ وُجُوْبِ قَبُوْلِ التَّوْبَةِ فِيْ دَارِ التَّكْلِيْفِ -يَعْنِيْ عَقْلًا كَمَا تَزْعُمُ الْمُعْتَزِلَةُ- مِمَّا لَا وَجْهَ لَهُ، عَلَى أَنَّ تَذَكُّرَهُ لَيْسَ مِنَ التَّوْبَةِ فِيْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُ عَالِمٌ بِأَنَّهَا إِنَّمَا تَكُوْنُ فِي الدُّنْيَا كَمَا يُعْرِبُ عَنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى:

Kemudian, ketika Allah Ta'ala menafikan bahwa kesadaran dan tobat ini bermanfaat baginya melalui firman-Nya "tetapi tidaklah berguna lagi kesadaran itu baginya", kami mengetahui bahwa Allah tidak wajib (secara akal) menerima tobat, berbeda dengan pendapat kaum Muktazilah. Dalam kitab Al-Irsyād disebutkan: "Berargumen dengan ayat ini untuk menolak kewajiban menerima tobat di dunia—maksudnya kewajiban secara akal sebagaimana klaim Muktazilah—adalah argumen yang tidak berdasar." Lagi pula, kesadarannya (di akhirat) itu bukanlah bagian dari tobat, karena ia tahu bahwa tobat itu hanya ada di dunia, sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya:

يَقُوْلُ يَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ لَيْتَنِيْ﴾ -كَاشْكِيْ مَنْ- ﴿قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْ﴾ وَهُوَ بَدَلُ اشْتِمَالٍ مِنْ "يَتَذَكَّرُ"، أَوِ اسْتِئْنَافٌ وَقَعَ جَوَابًا عَنْ سُؤَالٍ نَشَأَ عَنْهُ كَأَنَّهُ قِيْلَ: مَاذَا يَقُوْلُ عِنْدَ تَذَكُّرِهِ؟ فَقِيْلَ: يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِيْ عَمِلْتُ لِأَجْلِ حَيَاتِيْ هَذِهِ -يَعْنِيْ لِتَحْصِيْلِ الْحَيَاةِ الْأُخْرَوِيَّةِ الَّتِيْ هِيَ حَيَاةٌ نَافِعَةٌ دَائِمَةٌ غَيْرُ مُنْقَطِعَةٍ- أَعْمَالًا صَالِحَةً أَنْتَفِعُ بِهَا الْيَوْمَ، أَوْ وَقْتَ حَيَاتِيْ عَلَى أَنَّ اللَّامَ بِمَعْنَى "فِيْ" لِلتَّوْقِيْتِ. وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعْنَى: قَدَّمْتُ عَمَلًا يُنْجِيْنِيْ مِنَ الْعَذَابِ فَأَكُوْنَ مِنَ الْأَحْيَاءِ، قَالَ تَعَالَى: "لَا يَمُوْتُ فِيْهَا وَلَا يَحْيَىٰ"

(Dia berkata: "Duhai sekiranya aku...") – kāsykī man (ungkapan penyesalan dalam bahasa Persia) – (dulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini"). Kalimat ini bisa berstatus badal isytimāl (pengganti yang mencakup makna) dari kata "yatadzakkar", atau kalimat baru (isti'nāf) yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang timbul, seolah-olah ditanyakan: "Apa yang ia katakan saat ia sadar?" Lalu dijawab: Ia berkata: "Duhai sekiranya aku beramal untuk kehidupanku ini" – yakni untuk meraih kehidupan akhirat yang merupakan kehidupan yang bermanfaat, abadi, dan tak terputus – (berupa) amalan saleh yang dapat kumanfaatkan hari ini. Atau bisa juga (diartikan) "di waktu hidupku", jika huruf lam di sini bermakna fī (di dalam) untuk menunjukkan waktu. Boleh juga maknanya: "Aku telah mengerjakan amal yang dapat menyelamatkanku dari azab sehingga aku termasuk orang yang hidup", sesuai firman Allah: "Dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup." (Al-A'la: 13).

وَاعْلَمْ أَنَّ أَهْلَ الْحَقِّ لَا يَسْلُبُوْنَ الْاخْتِيَارَ بِالْكُلِّيَّةِ... وَعَلَى هَذَا يَدُوْرُ فَلَكُ التَّكْلِيْفِ وَإِلْزَامُ الْحُجَّةِ

Dan ketahuilah bahwa Ahlul Haq (Ahlus Sunnah wal Jama'ah) tidak menafikan adanya kehendak bebas (ikhtiyār) secara total... Dan di atas prinsip inilah orbit pembebanan syariat (falak at-taklīf) dan tegaknya hujjah berputar. (Catatan: Penulis kemudian menguraikan sanggahan terhadap paham Mu'tazilah mengenai kehendak bebas, menegaskan bahwa kemampuan manusia untuk berbuat baik atau buruk tidak bersifat independen, melainkan terjadi dengan ciptaan Allah).