Sabtu yang cerah bertepatan dengan tanggal 2 Muharram 1447 H merupakan hari yang membahagiakan. Bagaimana tidak kami berkesempatan untuk berkunjung ke kediaman Ulama yang juga Umara, Kyai yang juga Wapres ke 13 atau Wapres yang juga Kyai yaitu Prof Dr Kh Ma’ruf Amin. Kedatangan kami ini tidak lain adalah untuk Ngaji sekaligus ijazahan Tafsir Marah Labid buah karya Syaikh Nawawi Banten. Kali ini yang dibahas adalah Qs Ali Imran ayat 103 yang berbunyi :
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ
“Berpegangteguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai”
Beliau menambahkan penjelasan bahwa saat ini kita dapat melhat bahwa seseorang begitu fanatik pada kelompoknya, ustadznya, atau organisasinya, sehingga menganggap semua yang di luar kelompoknya pasti salah, sesat, bahkan ada pula yang sampai pada tahap meng-kafir kan. Setiap orang dari mereka mengklaim bahwa dirinya berada di atas kebenaran dan temannya berada di atas kebatilan." Ini adalah bahan bakar utama dari semua perpecahan. Ketika seseorang atau sebuah kelompok sudah merasa memonopoli kebenaran, maka tidak ada lagi ruang untuk dialog. Yang ada hanyalah dakwah yang bersifat menaklukkan, bukan mengajak. Orang lain tidak dilihat sebagai saudara yang mungkin khilaf, tetapi sebagai musuh yang harus dikalahkan.
Beliau mengatakan bahwa ini salah satu keramatnya Imam Ar Razi, Sebab ArRazi hidup dari sekitar tahun 544 H hingga 606 H, atau bertepatan dengan 1150 M hingga 1209 M. Saat itu Ar Razi telah mendeskripsikan kondisi pemuka agama yang memiliki sifat “one man show”. Beliau melanjutkan bahwa bila tahun itu saja sudah sedemikian rupa, apalagi tahun saat ini. Tentu kemungkinan potensi nya lebih besar lagi. Abah Kyai Ma’ruf juga berpesan agar para Dai harus paham dengan situasi sosial yang terjadi di lapangan.
Menurut beliau, seorang dai harus mampu membaca tanda-tanda zaman, memahami makna tersirat, dan memiliki firasat yang tajam berdasarkan pengamatannya terhadap hal-hal yang dianggap sepele oleh orang biasa. Kemampuan untuk "membaca" lingkungan ini bukanlah sekadar pelengkap, melainkan kompetensi inti yang menentukan efektivitas dakwah seorang dai. Tanpa kepekaan ini, seorang dai akan berbicara pada ruang hampa, menyampaikan pesan yang tidak menyentuh akar permasalahan umat. "Anjing-anjing dan elang-elang" dalam konteks kekinian dapat dimaknai sebagai berbagai syubhat (kerancuan pemikiran), serangan ideologis, dan kompleksitas masalah sosial yang siap menerkam argumen yang lemah. Ketika seorang dai terburu-buru tampil tanpa bekal pemahaman mendalam ini, ia tidak hanya akan gagal menyampaikan risalah, tetapi juga berisiko menjadi bahan cemoohan, di mana dakwahnya dianggap tidak relevan dan mudah dipatahkan. Oleh karena itu, kebijaksanaan dan pengamatan yang mendalam inilah yang menjadi "sayap" sesungguhnya, yang harus dikokohkan sebelum terbang di tengah medan dakwah yang penuh tantangan.
Seorang Dai harus memiliki daya juang.Beliau menuturkan bahwa seorang dai harus menanamkan keyakinan yang mendalam bahwa hasil dakwah tidak bergantung pada kemampuan atau sarana yang ia miliki. Dalam perjalanan dakwah, akan ada saatsaat di mana semua "sebab-sebab" duniawi—seperti persiapan yang matang, retorika yang kuat, dukungan logistik, bahkan penerimaan audiens—terasa "gagal" atau tidak membuahkan hasil. Ketika pintu-pintu ikhtiar seolah tertutup dan rasa putus asa mulai muncul, di situlah seorang dai harus segera mengalihkan sandarannya secara total dari sebab kepada "Tuhan pemilik segala sebab" (Rabbul Asbab). Momen kebuntuan ini sejatinya adalah ujian untuk memurnikan tauhid dan tawakal, mengingatkan bahwa kekuatan sejati seorang dai tidak terletak pada kecakapannya, melainkan pada keyakinannya bahwa Allah-lah yang membuka hati dan menciptakan keberhasilan dari situasi yang tampaknya mustahil. Oleh karena itu, jangan pernah berputus asa ketika usaha terasa sia-sia, karena di titik terlemah seorang hamba, pertolongan dari Rabbul Asbab justru menjadi yang paling nyata.