Hukum Islam

Terakhir diperbarui: 13 Oktober 2025, 08:26 WIB

   Masjid adalah tempat umat muslim melakukan berbagai macam ibadah yang disyariatkan. Masjid juga merupakan ism makân dari asal kata sajada-yasjudu yang berarti tempat bersujud. Masjid menjadi pilar penting dalam Islam. Selain berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah, masjid juga berperan di dalam mengontrol sosial di Masyarakat. Masjid bisa dijadikan tempat untuk berkumpul mengaji, berdiskusi menyelesaikan permasalahan di Masyarakat sampai mufakat, dan juga berkumpul untuk perayaan. Mulai dari perayaan pada dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha hingga sampai perayaan walimah al-ursy (pernikahan).

   Namun, di balik banyaknya fungsi dan peran masjid untuk umat Islam, pernahkah mendengar, melihat atau bahkan merenungi mengapa masjid itu dinamakan al-Furqon misalnya yang memiliki arti pembeda antara yang benar dan salah. Atau bahkan mempertanyakan mengapa masjid itu dinamakan dengan nama seseorang. Siapakah orang itu? Orang pentingkah ia? Orang terkenal kah ia? Bolehkah menamai masjid itu yang notabene adalah rumah Allah dengan nama orang tersebut? 

   Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, terdapat satu bab yang menarik dalam Shahih al-Bukhari. Berikut redaksinya. 

بَاب هَلْ يُقَالُ مَسْجِدُ بَنِي فُلَانٍ  

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي أُضْمِرَتْ مِنْ الْحَفْيَاءِ، وَأَمَدُهَا ثَنِيَّةُ الْوَدَاعِ. وَسَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي لَمْ تُضْمَرْ مِنْ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ، وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ فِيمَنْ سَابَقَ بِهَا   . 

   Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (w. 256 H) melampirkan dalam Shahih al-Bukhari satu bab yang berjudul “Bagaimana apabila dikatakan, masjidnya kaum fulan (seseorang)?”. Arti dari hadis tersebut adalah bahwasanya Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah ibn Yusuf, ia berkata: Telah mengabarkan kepadanya Malik dari Nafi’ dari Abdullah ibn Umar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengadakan perlombaan pacuan kuda yang terlatih dan juga yang tidak terlatih. Garis awal untuk pacuan kuda yang terlatih dari Hafya’ sampai Tsaniyyatu al-Wada’. Untuk pacuan kuda yang belum terlatih dari Tsaniyyatu al-Wada’ sampai Masjid Bani Zuraiq. Abdullah ibn Umar juga ikut dalam perlombaan ini. 

Ibn Hajar Al-‘Asqalani (w. 852 H) menjelaskan bahwa dalam hadis tersebut menunjukkan kebolehan untuk menamai sebuah masjid dengan nama kaumnya atau nama seseorang yang sering sholat di dalamnya. Pendapat Al-‘Asqalani ini juga menjadi pendapat dari pada jumhur (mayoritas) ulama.

   Adapun lafaz yang digunakan oleh Al-Bukhari pada bab ini menggunakan istifham (هَلْ) yang berarti pertanyaan adalah dikarenakan adanya perbedaan pendapat yang disampaikan oleh Ibrahim an-Nakha’i (w. 94 H). Badrud al-Din al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan bahwa an-Nakha’I tidak berkenan mengatakan ‘masjid kaum fulan’ atau ‘musholla fulan’, karena ia berpendapat bahwa setiap masjid itu adalah milik Allah SWT. sesuai dengan firman-Nya dalam Surat al-Jin ayat 18. 

﴿ وَّاَنَّ الْمَسٰجِدَ لِلّٰهِ فَلَا تَدْعُوْا مَعَ اللّٰهِ اَحَدًاۖ ١٨ ﴾ ( الجن/72: 18) 

"Sesungguhnya masjid-masjid itu milik Allah. Maka, janganlah menyembah apa pun bersamaan dengan (menyembah) Allah." (Al-Jinn/72:18) 

   Al-‘Aini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyandaran kata masjid ayat tersebut kepada Allah SWT. itu adalah bentuk penyandaran yang hakiki atau sebenar-benarnya. Adapun penyandaran kepada selain Allah SWT., seperti nama kaum fulan atau nama seseorang itu bermakna hanya untuk membedakan dan agar dikenali. Pendapat Al-‘Aini ini juga selaras dengan pendapat Al-‘Asqalani.

   Kesimpulannya, penamaan Masjid dengan nama seseorang itu boleh menurut pendapat jumhur ulama. Namun, tetap penamaan masjid ini jangan sampai menghilangkan fungsi utama masjid, yaitu untuk ibadah kepada Allah Swt. Wallahu a’lam.